Overblog
Edit post Follow this blog Administration + Create my blog

Cerpen Karangan: Nia Putri
Kategori: Cerpen Cinta Dalam Hati (Terpendam), Cerpen Cinta Romantis

“Dia nerima lamaran gue, Va.”
Haiva diam. Terpukul.
“Kasih selamat dong buat kakak lo ini.”
“Selamat ya Kang.”
Kang, begitu panggilan Haiva kepada laki-laki bernama Arya itu. Mereka memang sudah berteman sangat akrab, seperti adik-kakak. Itu mengapa ia memanggil lelaki itu Akang. Ironisnya, hanya Arya yang menganggap Haiva sebagai adik. Haiva sendiri selalu mencintai lelaki itu, sejak awal.
Beruntung Arya mengatakan berita itu lewat telepon. Haiva tidak perlu berpura-pura tersenyum selagi ia sama sekali tidak ingin tersenyum.
“Makasih ya Va.”
Haiva tidak menjawab.
“Sekarang gue harus menyiapkan strategi berikutnya untuk bilang ke Ibu gue dan orangtuanya.”
“Hmm.”
“Doain supaya lancar ya. Nanti pasti gue undang.”
“Iya.”
Tiba-tiba Haiva sadar, pipinya sudah basah. Ia harus segera memutus pembicaraan telepon itu.
“Eh, aku dipanggil bos nih Kang,” Haiva buru-buru memutus. “Udah dulu ya.”
“Oke deh. Met kerja lagi ya Va.”
“Daaah.”
Tanpa menunggu balasan Arya, Haiva sudah mematikan ponselnya.
Beruntung saat itu sudah lepas jam kerja. Tidak ada siapapun di ruang kerjanya. Mas Bram sudah pulang sejak jam 5 sore tadi. Kalau tidak, Haiva akan sangat kesulitan menutupi kesedihannya. Ia sudah jatuh.

Sebenarnya sudah sewajarnya pada waktu semalam itu semua orang di factory sudah pulang. Haris memang terbiasa pulang paling akhir. Ia tidak suka melakukan pekerjaan di rumah, jadi ia terbiasa menyelesaikan semua pekerjaan di kantor sebelum pulang ke rumah. Toh pulang jam berapapun tidak ada yang menunggunya di rumah selain kura-kura peliharaannya. Ia tidak merasa keberatan selalu menjadi yang paling akhir pulang. Lagipula sebagai seorang pemimpin, sudah seharusnya ia datang lebih pagi daripada anak buahnya dan pulang lebih akhir setelah semua anak buahnya pulang. Karena itulah ketika melewati ruang QA, Haris agak terkejut karena ruangan itu masih terang-benderang. Entah karena masih ada orang di sana atau karena yang paling akhir pulang lupa mematikan lampu.
Haris memutar langkahnya. Mengurungkan niatnya untuk pulang, ia berbalik ke ruangan QA. Ia mencoba membuka pintunya dan ternyata memang tidak dikunci. Tapi ketika pintu terbuka, tidak ada siapapun di ruangan itu.
Bram dan Haiva harus dimarahi besok karena pulang tanpa mengunci pintu dan mematikan lampu, pikir Haris dalam hati.
Tapi kemudian ia mendengar suara pelan, seperti suara tangis. Bulu kuduknya berdiri. Ruangan itu kosong, mengapa ada suara seperti itu? Desas-desus tentang hantu yang paling sering beredar adalah penampakan di gowning room production (ruang gati baju sebelum menuju ruang produksi obat.red). Jadi harusnya tidak di ruangan ini kan?
Perasaan Haris makin tidak enak ketika ia melihat sepotong tangan terjulur dari bawah meja kerja Haiva. Haris baru saja hendak bergegas kabur ketika akal sehat menguasainya. Memberanikan diri, ia masuk ke ruangan itu dan perlahan mengintip ke bawah meja kerja Haiva.

“Ya ampun Iva!” Haris membentak dengan keras. Membuat Haiva kaget. Tangisnya segera terhenti. “Kamu seperti setan saja! Bikin saya jantungan. Ngapain sembunyi di bawah kolong meja begini? Saya kira setan. Dan itu apa tadi? Kamu nangis? Suaranya seperti kuntilanak sedang menangis!”
Haris memarahi Haiva dengan suara keras. Dia kesal karena anak ini sudah membuatnya ketakutan hingga hampir mati.
Haiva serta-merta diam. Berhenti menangis. Ia kaget dibentak seperti itu. Sudah sering ia dimarahi atau ditegur Haris. Tapi Haris selalu menggunakan suara yang pelan dan tajam alih-alih bentakan dengan suara keras seperti yang barusan dilakukannya. Ini pertama kalinya Haiva mendengar bos besarnya itu membentaknya dengan suara keras.
Belum cukup rasanya ia mendengar pria yang dicintainya akan menikahi perempuan lain, yang ironisnya adalah temannya juga. Ternyata nasib sialnya hari ini masih harus ditambah dengan amarah bosnya. Terima kasih Tuhan.
Meski anak itu duduk di kolong meja seperti itu, penerangan ruangan masih cukup untuk membuat Haris melihat keanehan pada wajah Haiva. Matanya sembab dan wajahnya basah. Hal itu membuat wajah Haris melunak. Mata Haiva yang berkaca-kaca itu membuat Haris jadi gugup dan merasa bersalah karena membentak gadis itu.


 
“Iva nangis ya?” Haris bertanya hati-hati.
Haiva buru-buru mengeringkan pipinya.
“HP saya jatuh, Pak. Pas mau ngambil, kepala saya kejedot. Sakit banget.”
Haiva menggoyang-goyangkan ponselnya di depan Haris dan berupaya memasang wajah lucunya. Meski begitu Haris tidak percaya. Tapi demi menghargai usaha Haiva untuk menutupi tangisannya, Haris berpura-pura percaya.
“Ayo berdiri!”
Sedikit terhuyung, Haiva merangkak keluar dari kolong meja dan bangkit berdiri. Lalu dengan wajah riang, ia bertanya pada bosnya “Bapak kok belum pulang?”
“Saya memang biasa pulang jam segini. Seharusnya saya yang tanya, kenapa kamu belum pulang?”
Gugup karena malah diintrogasi, Haiva berlagak sok sibuk mematikan laptopnya.
“Er… tadi ada yang harus saya kerjakan, Pak.”
Mengerjakan apa? Menangis di kolong meja?, Haris nyaris mengatakannya. Tapi ia menahannya karena merasa tidak bijak meledek gadis yang suara tangisnya seperti kuntilanak ini. Haris merasa tidak akan tahan mendengar suara tangisnya lagi.
“Sekarang sudah selesai kerjaannya? Sudah mau pulang?”
“Hmmm.” Haiva bergumam dan mengangguk.
“Apa Iva buru-buru pulang?”
“Eh?”
“Saya belum makan malam. Iva juga belum kan?”
Haiva melirik bingung.
“Iva mau temani saya makan?” tanya Haris kemudian.

“Iva mau pesan apa?”
Haris membuka-buka menu makanan di resto seafood itu dan dengan bersemangat bergumam ingin memesan ini dan itu. Haiva menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal. Dia sedang berusaha menemukan makanan yang dapat dimakannya dari daftar menu itu. Tapi belum lagi Iva menemukan yang dicarinya, Haris sudah memanggil waitress restoran itu.
“Kepiting saos padang. Cumi goreng tepung. Cah kangkung…” Haris menyebutkan pesanannya dengan bersemangat. Lalu ia menoleh pada Haiva. “Iva?”
“Tumis buncis …”
Sang waitress mencatat pesanan Haiva. Lama ia menunggu, tapi gadis itu tidak menyebutkan pesanannya yang lain. Haris memandang Haiva dengan mendesak.
“Apa lagi? Masa pesan itu aja? Di sini ada udang mayonaise, kerang rebus.”
Haiva balas memandang bosnya dengan tatapan meminta maaf. “Saya sebenarnya alergi seafood, Pak.”
“Hah!” desah Haris, separuh kaget dan separuh kesal, “Kenapa Iva baru bilang? Kalau gitu kita …”
“Saya makan itu aja, Pak,” kata Iva buru-buru. Ia khawatir bosnya akan mulai memarahinya lagi.
“Apa kita makan di tempat lain?”
Sang waitress tampak tidak rela kehilangan calon pelanggannya. Ia segera memotong percakapan kedua tamunya itu.
“Kami punya gurame. Ikan air tawar, Mbak,” kata waitress itu, menawarkan kepada Haiva.
“Kalau gitu, kami pesan itu,” kata Haris cepat.
Sang waitress tersenyum. “Guramenya bumbu apa? Dibakar? Lada hitam? Atau …” tanyanya kemudian.
Haiva menatap Haris. Tidak tahu harus memilih yang mana.
“Kepiting saos padang di sini enak banget,” Haris menjawab tatapan Haiva. Ia lalu menoleh pada waitress. “ Apa bisa guramenya pakai saos padang?”
Sang waitress mengangguk. “Bisa, Pak.”
Ia kemudian mengkonfirmasi pesanan kedua tamunya sebelum pergi meninggalkan mereka berdua.
“Harusnya Iva bilang kalau nggak bisa makan seafood. Untung di sini ada gurame.”
“Iya, maaf Pak. Saya nggak tahu bahwa kita mau makan di sini.”
“Hmmm. Iya sih, saya juga nggak bilang ya?”

Haiva memerhatikan berkeliling. Hampir semua meja penuh. Hampir semua kursi diduduki oleh pria berkemeja rapi dan perempuan berpakaian modis, seperti para eksekutif muda. Mereka semua tampak seperti orang-orang yang baru pulang kerja. Lagipula restoran ini berdiri di daerah perkantoran elit. Tampaknya ia sedang makan di restoran seafood yang terkenal dan mahal. Well, it looks fit with the boss anyway.

Semua orang tampak sedang menikmati makanan di piringnya masing-masing dengan bersemangat. Tidak ada satupun yang tidak menikmati makanannya. Dilihat dari makanan-makanan yang tersaji di tiap piring di semua meja, mereka memang tampak menggiurkan. Tidak heran jika bosnya mengajak ke sana.

Eh? Oh, mungkin hanya sepasang muda-mudi yang berada di meja sebelah yang tidak tampak sedang menikmati makanannya. Laki-laki tampan dan perempuan cantik itu keduanya berwajah keras. Mereka mengacuhkan sepiring kerang dengan kuah yang tampak pedas dan seekor gurame besar yang bertabur potongan mangga di hadapan mereka. Mengacuhkan makanan-makanan yang tampak menggiurkan itu, mereka pasti sedang membicarakan masalah yang serius. Haiva tidak sengaja mencuri dengar pembicaraan kedua orang di meja sebelah.
“Kenapa?” Si gadis bertanya pada pemuda di hadapannya.
“Kita udah nggak cocok lagi,” kata si pemuda dengan wajah kaku. Pemuda itu tampak tidak peduli pada wajah nelangsa gadis di hadapannya. Haiva menduga gadis itu sebentar lagi akan mulai menangis.
Tapi ternyata tidak. “Jangan bercanda!” Gadis itu malah tersenyum mencemooh, “Nggak cocok lagi adalah alasan basi. Kamu … apa ada perempuan lain?”
Cih!, gumam Haiva dalam hati, kasus perselingkuhan. Nggak heran, cowok ini punya wajah yang tampan. Pasti banyak gadis yang menyukainya.
“Sorry. Kita putus.” Haiva mendengar si pemuda menjawab tanpa basa-basi.
Si gadis mendelik. “Apa?! Putus?!” Gadis itu mendesis dengan marah. “Kamu yang selingkuh, kenapa kamu yang mutusin aku? Hah?!”
Si pemuda tampak agak syok.
“Kita putus! I’m tho one who dump you, jerk!”
Si gadis, meski dengan mata berkaca-kaca, memutuskan pacarnya dengan sangat tegas. Ia menenggak es jeruknya dalam segali teguk. Dan selagi si pemuda masih tampak syok, gadis itu berkata “Lo yang bayar!”
Lalu gadis itu pergi.
Sebelum gadis itu membuka pintu restoran dan keluar, Haiva melihatnya menghapus air mata. Tidak ada gadis yang tidak sedih diselingkuhi, tapi toh gadis itu menghadapinya dengan gaya yang keren. Haiva tersenyum diam-diam, mengagumi ketegaran gadis itu. Ia berharap bisa setegar gadis itu menghadapi perasaan patah hatinya.
“It’s like today is not good day for relationship,” Haiva bergumam muram.
Haris melirik ke arah yang sama dengan tatapan gadis di hadapannya. “Apa?”
Haiva tersenyum. “Nggak apa-apa, Pak.”

Haris bukan tidak mendengar gumaman pelan Haiva barusan. Dia juga jelas-jelas melihat Haiva memperhatikan pasangan di sebelah mereka. Ditambah lagi, dari sikap Haiva sesorean ini, Haris menduga bahwa gadis ini baru saja putus dengan pacarnya. Itu mengapa si kelinci yang biasanya suka meloncat-loncat ini terlihat lesu sore ini. Itu mengapa gadis itu menangis saat ia tadi memergokinya. Tapi kalau Haiva tidak berniat memberitahunya, bukankah dia tidak berhak memaksa?

“Orang-orang datang dan pergi dalam hidup.”
Haiva mendengar Haris bergumam. Dia tidak yakin apakah Haris sedang bicara padanya atau hanya bergumam sendiri. Haiva menoleh dan memperhatikan bosnya.
“Setiap hari, orang-orang datang dan pergi dalam hidup kita,” Haris mengulang. Kali ini sambil menatap langsung ke mata Haiva. Haiva merasa si bos sedang bicara padanya. “Tidak perlu terlalu bergantung pada satu orang. Toh dia akan pergi juga.”
Haiva curiga, jangan-jangan si bos sedang menyindirnya. Tapi sebelum Haiva membuka mulut, seorang waitress mengantarkan pesanan mereka. Berpiring-piring makanan tersaji di meja mereka dalam beberapa menit saja.

“Makan yang banyak, Iva.”
Haris tersenyum lebar. Haiva menganggapnya sebagai perintah. Ia mengangguk dan mendekatkan piring berisi seekor gurame besar yang disiram kuah merah ke arahnya. Ia melirik sesaat ke meja sebelah. Gurame bertabur potongan mangga masih utuh tersaji. Piringnya bahkan belum tersentuh. Si pemuda sudah pergi meninggalkan makanan-makanan itu tersia-sia.
“Sayang banget, kenapa mereka harus putus sebelum makan malam dimulai,” kata Haiva pada Haris sambil mengerling meja sebelah, “Makanan yang sudah mereka pesan jadi tersia-sia kan?”
Haris tertawa. “Jangan memperhatikan hal-hal lain. Perhatikan yang ada di depan mata.” Haris mengendikkan kepala pada piring berisi gurame saos padang di hadapan Haiva. “Kalau Iva berhasil menghabiskannya, saya belikan gurame saos mangga juga buat Iva.”
Perhatikan yang ada di depan.
Haiva menatap ke depan. Ada Haris di sana. Haiva tertawa.

“Apa rasa sakitnya sudah berkurang?” tanya Haris.
Lampu-lampu jalanan berkelebat di kiri-kanan mereka ketika mobil Haris melaju membelah jalanan Jakarta. Selesai makan malam, Haris mengajak Haiva pulang bersamanya. Rumah mereka searah sehingga Haris tidak keberatan mengantar Haiva. Toh sebenarnya Haris tidak repot sama sekali. Dia kan punya supir pribadi.
Haiva menoleh cepat. Kaget. “Apa?”
Penerangan di dalam mobil tidak begitu terang. Haiva tidak bisa melihat ekspresi bosnya dengan jelas. Ia tidak tahu apa maksud pertanyaan bosnya itu.
“Yang tadi bikin Iva nangis, apa rasa sakitnya sudah berkurang sekarang?”
Haiva hanya mengerjap. Apakah bosnya mengetahui alasan sebenarnya ia menangis? Apa acting HP-jatuh tadi kurang meyakinkan? Lalu bagaimana ia harus mengalihkan pembicaraan sekarang supaya ia tidak perlu menjawab.
“Meski makanan enak tidak bisa mengobati sakit kepala yang terbentur tadi…” Haris menoleh pada Haiva, “… setidaknya Iva sudah lupa rasa sakit terbentur yang sampai bikin Iva nangis tadi kan?”
Haiva bengong sesaat. Tapi kemudian ia tertawa.
“Makasih ya Pak,” kata Haiva, masih tertawa, “Kata orang perut kenyang, hati senang. Kepala saya nggak sakit lagi sekarang.”
Tinggal hati saya aja yang masih sakit, lanjut Haiva dalam hati. Masih sambil tertawa.
Tapi hatimu masih sakit kan?, tanya Haris dalam hati, sambil ikut tertawa bersama gadis itu. Dasar anak muda.
Ini pertama kalinya Haiva ngobrol dengan Haris, di luar jam kantor, dan selain membicarakan validation report dan deviation report.

Cerpen Karangan: Nia Putri
Blog: niechan-no-sensei.blogspot.com
Pelajar. Pecinta aksara. Pecandu kata.

Cerita Bakpao (Part 1) merupakan cerita pendek karangan Nia Putri, kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

Tag(s) : #cerpen, #cinta, #romantis, #sumber: google 2017
Share this post
Repost0
To be informed of the latest articles, subscribe: